Gulai Tunjang, Warisan dari Meja Dapur Tradisional Minang
Di baliknya terdapat gulai tunjang yang menggiurkan, tersembunyi kisah panjang dari dapur-dapur sederhana di ranah Minang. Ini bukan sekadar masakan dengan kuah kental dan aromanya yang menggiurkan—melainkan hasil dari perenungan budaya, kepiawaian dalam mengolah bahan-bahan yang dianggap “tidak istimewa”, dan kebiasaan makan yang menjunjung makna kebersamaan.
Tulang kaki sapi, bahan utama dalam gulai tunjang, dulunya tidak banyak diminati. Namun, di tangan orang Minang, bagian ini disulap menjadi simbol kehormatan di meja makan. Sum-sum dalam tulang itu jadi inti rasa, sementara daging yang melekat memberikan tekstur yang khas. Setiap piring gulai tunjang membawa cerita—tentang cara hidup, cara makan, dan cara merawat tradisi.
Asal Usul Gulai Tunjang: Dari Hemat Menjadi Lezat
Tidak ada yang terbuang dalam filosofi kuliner Minangkabau. Apa yang bagi sebagian orang tampak tidak bernilai, justru oleh masyarakat Minang dimanfaatkan secara maksimal. Di sinilah gulai tunjang menemukan tempatnya. Kaki sapi yang keras dan berurat, ketika direbus perlahan dengan bumbu lengkap dan santan kental, berubah menjadi sajian mewah.
Zaman dahulu, gulai ini dimasak dalam jumlah besar saat kenduri adat, upacara kematian, atau perayaan besar keagamaan. Dalam acara seperti itu, kehadirannya bukan cuma sebagai makanan pelengkap, tapi sebagai penanda pentingnya momen. Rasanya yang kaya dan kuahnya yang melimpah menjadi simbol atas keberlimpahan rezeki dan kehormatan bagi tamu.
Komposisi Bahan yang Menentukan Rasa
Setiap sendok gulai dari tunjang adalah hasil dari keselarasan antara bahan utama dan bumbu tradisional. Bagian tulang kaki sapi yang dipilih harus yang masih segar dan penuh sumsum. Sum-sum inilah yang akan meleleh selama proses memasak dan menyatu dengan kuah gulai, menciptakan lapisan rasa yang dalam dan menggoda.
Rempah-rempah yang digunakan bukan sekadar pelengkap, tapi fondasi cita rasa gulai Minang. Ada bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, kunyit, cabai merah keriting, kemiri, hingga ketumbar yang digiling halus. Tak lupa juga daun kunyit, daun salam, serai, dan asam kandis—semuanya berperan penting dalam membentuk aroma yang membelai hidung bahkan sebelum gulai itu disantap.
Santan kental menjadi pengikat rasa. Kelapa tua diparut dan diperas, menghasilkan cairan putih pekat yang saat dimasak perlahan bersama bumbu dan tulang, akan berubah menjadi kuah keemasan yang pekat dan menggoda.
Teknik Memasak: Lambat Bukan Berarti Lamban
Dalam dunia kuliner cepat saji, gulai ini berdiri sebagai antitesis. Proses memasaknya bisa memakan waktu berjam-jam. Diawali dengan merebus tulang hingga bersih dari kotoran dan darah, lalu menumis bumbu hingga matang sempurna, dan akhirnya menyatukan semuanya dengan santan, gulai ini bukan untuk mereka yang terburu-buru.
Kunci utamanya adalah kesabaran. Memasak dengan api kecil dan pengadukan yang rutin menjaga agar santan tidak pecah, sekaligus memungkinkan seluruh rasa meresap ke dalam tulang. Semakin lama dimasak, semakin lembut daging yang menempel dan semakin kental kuah yang dihasilkan. Aroma pun berkembang—dari wangi bumbu mentah menjadi harum yang kaya dan berlapis.
Seni Menghisap Tulang: Tradisi yang Tak Terucap
Menyantap gulai tunjang tidak sekadar makan, melainkan menyelami sebuah pengalaman. Menghisap tulang, terutama untuk mendapatkan sumsum yang berada di dalamnya, adalah praktik yang lumrah di Minangkabau. Bahkan, dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap masakan.
Orang Minang percaya bahwa makanan harus dinikmati sepenuh hati. Dan untuk gulai tunjang, kenikmatan puncaknya terletak pada momen ketika mulut menyentuh ujung tulang, dan dengan perlahan sumsum hangat masuk ke dalam rongga lidah—membawa rasa gurih yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Padanan Sempurna Gulai Tunjang
Gulai tunjang biasanya dihidangkan dengan nasi putih panas yang baru matang dari kukusan. Kuah yang kaya dan gurih menempel sempurna pada butiran nasi, menciptakan harmoni yang memanjakan lidah. Tidak berhenti di sana, sambal ijo menjadi pelengkap wajib. Rasa pedas segar dari cabai hijau dan bawang merah yang ditumis ringan menjadi penyeimbang dari lemak santan.
Lalapan sederhana seperti daun singkong rebus, terung goreng, atau mentimun memberikan kesejukan. Dalam beberapa tradisi, kerupuk jangek (kerupuk kulit sapi) juga disajikan untuk memberikan tekstur yang kontras dan menambah kenikmatan saat dikunyah bersama kuah gulai.
Gulai Tunjang dan Budaya Makan Bersama
Bagi masyarakat Minang, makan bukan aktivitas individu, tapi ajang berbagi. Satu nampan besar berisi nasi dan gulai dibagikan kepada beberapa orang. Mereka duduk melingkar, menyuap nasi bergantian, tanpa merasa lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain. Dalam suasana seperti inilah gulai ini memperkuat fungsinya—sebagai perekat sosial.
Di pesta pernikahan atau acara adat, gulai ini disajikan sebagai bentuk penghargaan tertinggi. Tamu yang disuguhi gulai ini dianggap sebagai tamu istimewa, dan menunjukkan bahwa tuan rumah tidak segan memberikan yang terbaik.
Variasi Gulai Tunjang: Menyebar dan Beradaptasi
Meskipun berasal dari Sumatera Barat, gulai tunjang telah menyebar dan mengalami akulturasi di banyak tempat. Di Jawa, rasa kuahnya cenderung manis karena pengaruh gula merah. Di Kalimantan, beberapa rumah makan menambahkan rempah lokal seperti kayu manis dan cengkeh. Sementara di daerah Sulawesi, ada yang memasak gulai ini dengan tambahan daun kemangi untuk aroma yang lebih segar.
Modernisasi kuliner juga mengubah cara penyajian. Beberapa restoran fine dining mencoba memodifikasi tampilan gulai ini dengan plating artistik, tanpa mengurangi rasa aslinya. Bahkan di luar negeri, restoran Indonesia menyajikan gulai tunjang sebagai representasi kekayaan rasa Nusantara.
Gulai Tunjang di Dunia Digital dan Pop Culture
Belakangan ini, gulai tunjang tidak hanya hadir di meja makan, tetapi juga di linimasa media sosial. Video mukbang yang menampilkan aksi hisap tulang, atau konten “kuliner ekstrem” yang menonjolkan sumsum meleleh dari tulang sapi, menjadikan gulai tunjang makin dikenal generasi muda.
TikTok, Instagram, hingga YouTube menjadi panggung baru bagi hidangan tradisional ini. Anak-anak muda yang awalnya enggan berlangganan gulai karena terlihat “berminyak dan aneh”, kini mulai penasaran setelah melihat antusiasme netizen menyantapnya. Tak jarang gulai tunjang jadi konten viral dan diburu di berbagai warung makan Padang di kota-kota besar.
Produk Instan Gulai Tunjang: Solusi Modern atau Sekadar Gimmick?
Seiring berkembangnya teknologi makanan, muncul juga gulai tunjang versi instan. Produk-produk beku yang tinggal dipanaskan kini mulai banyak ditemukan. Meski praktis, rasa dari produk instan ini tidak bisa dibandingkan dengan versi asli yang dimasak berjam-jam.
Namun, bagi perantau Minang yang jauh dari kampung halaman, gulai tunjang instan bisa jadi obat rindu yang tak ternilai. Rasa dan aromanya meski tidak sempurna, tetap membawa nostalgia.
Penutup: Tunjang, Rasa yang Melekat di Memori
Lebih dari sekadar makanan, gulai ini adalah refleksi dari perjalanan budaya, keterampilan dapur, dan cara hidup masyarakat Minang. Ia mengajarkan bahwa dalam kehidupan, yang tampak biasa namun bisa menjadi luar biasa jika dijalani dengan sabar dan cinta.
Setiap tetes kuahnya membawa kenangan, setiap hisapan tulangnya menyimpan cerita. Gulai tunjang bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang rumah, keluarga, dan tradisi yang masih hidup dalam setiap masakan.